Selasa, 27 Mei 2014

Sedikit tentang Penyakit Gondok..



Mekanisme Autoimun Penyakit Graves
Sebagai Salah Satu Penyebab Hipertiroidisme
 
Oleh: Iin Tussanti, S.Si

Pendahuluan
Dalam kondisi normal, sistim kekebalan tubuh manusia mempunyai kemampuan merespon kehadiran mikroba patogen yang masuk ke dalam tubuh. Fungsi fisiologis sistem imun adalah mencegah infeksi serta memusnahkan adanya infeksi dalam tubuh. Sistem imun berespon terhadap protein asing yaitu antigen atau imunogen dan memiliki toleransi terhadap antigen sel tubuh sendiri. Namun demikian dalam kondisi tertentu, sistim imun dapat bereaksi terhadap antigen sel tubuh sendiri sehingga menimbulkan kelainan fisiologi. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah autoimunitas.
Kesalahan regulasi sistim imun dapat berakibat pada munculnya berbagai penyakit. Jenis-jenis penyakit autoimun seperti: 1) Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid), 2) Pernicious anemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan), 3) Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi cukup hormon), 4) Diabetes tipe I, 5) Rheumatoid arthritis (radang sendi), 6) Systemic lupus erythematosus (SLE atau gangguan autoimun kronis, yang mempengaruhi kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya), 7) Dermatomyositis (penyakit otot yang dicirikan dengan radang dan ruam kulit), 8) Sjorgen sindrom (kelainan autoimun dimana kelenjar yang memproduksi air mata, 9) Multiple sclerosis (gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat tulang belakang), 10) Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf), 11) Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata), 12) Penyakit Graves (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif).
Fairweather, 2007 menyatakan bahwa autoimun merupakan fenomena alamiah tetapi merupakan penyakit yang tidak umum. Di Amerika Serikat, prevalensi penderita autoimun berkisar antara 5-8% tetapi di beberapa negara industri, penyakit tersebut menduduki posisi ketiga dalam kategori penyakit yang paling umum dijumpai setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Secara umum, penyebab utama autoimunitas adalah factor genetic yang menyumbang sekitar 79% sedangkan 21% adalah pengaruh faktor lngkungan.
            Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengkaji salah penyakit autoimun organ spesifik pada kelenjar tiroid yang menyebabkan efek hipertiroidisme yaitu penyakit Graves.
Penyakit Graves
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun (PTAI) yang spesifik menyerang sel-sel pada kelenjar tiroid atau merupakan penyakit autoimun yang bersifat organ-spesific. Varian lain PTAI adalah tiroiditis atrofik, tiroiditis postparfum, tiroiditis karena obat serta tiroiditis yang menyertai sindrom autoimun poliglanduler. Penyakit Graves merupakan kelainan kelenjar tiroid autoimun yang dicirikan dengan adanya immunoglobulin dalam peredaran darah yang berperan sebagai anti TSH reseptor.
            Penyakit Graves yang menyebabkan hipertiroidisme berpengaruh terhadap aktifitas metabolism karena produksi hormone tiroid yang berlebihan.
Gejala dan Tanda Penyakit Graves
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. (3) Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) : hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag), perubahan jaringan lunak orbita, proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer), keterlibatan otot-otot ekstra ocular, perubahan pada kornea (keratitis) serta kebutaan (kerusakan nervus opticus).
            Penyakit tiroid autoimun disebabkan karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor Genetik Penyebab Penyakit Graves
Adanya pengaruh faktor genetik penyebab penyakit Graves sebagai salah satu kelainan tiroid autoimun diketahui setelah adanya banyak kasus yang ditemui selalu berkaitan dengan penyakit autoimun yang diderita oleh anggota keluarga yang lain atau generasi sebelumnya. Faktor genetik penyakit ini diperkirakan disebabkan oleh pengaruh gen ganda (poligen) dan fenotip muncul akibat regulasi yang salah dari gen tersebut terhadap sistim imun. Antigen yang berperan pada timbulnya penyakit tersebut adalah Human Lymphosit Antigen (HLA) atau HLA haplotip. HLA atau MHC (Mayor Histocompatibility Complex) menimbulkan reaksi autoimun dengan mengendalikan presentasi antigen perifer yang mengaktifkan T cell.
Penyakit tiroid autoimun terdapat dalam bentuk penyakit Graves (hipertiroidisme) dan penyakit Hashimoto (hipotiroidisme). Meskipun kedua penyakit tersebut memiliki fenotip yang berbeda, secara genotip keduanya adalah kromosom yang homolog. Selain itu autoantibodi kedua penyakit autoimun tersebut menyerang Tiroid Peroksidase dan baik penyakit Graves maupun Hashimoto dapat terjadi pada satu keluarga. Tiroid peroksidase adalah enzim yang berperan dalam pembentukan hormon tiroid dan merupakan autoantigen utama pada penyakit tiroid autoimun (Prummel et al, 2004). Pada penderita tiroid autoimun seperti Graves diseases biasanya dijumpai bahwa penderita juga akan mengalami penyakit autoimun lainnya seperti penyakit Lupus, anemia pernisiosa atau penyakit Addison.
Faktor Lingkungan Penyebab Penyakit Graves
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, di antaranya : berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria. Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid (Prummel et al, 2004).
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung khronik; kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (Prummel et al, 2004).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipo- dan hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroidi atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroidi (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan faktor risiko terjadinya PTAI (Prummel et al, 2004).
Tabel 1. Faktor-faktor lingkungan penyebab penyakit tiroid autoimun
No
Faktor Lingkungan
Mekanisme
Fenotip
1.
Berat badan lahir rendah
Kelenjar timus tidak sempurna
Antibodi TPO
2.
Kelebihan iodin
Jod Basedow
Penyakit Graves
3.
Defisiensi Selenium
Tidak diketahui
Penyakit Hashimoto
4.
Jarak reproduksi yang panjang
Efek estradiol
Penyekit Hashimoto
5.
Kontrasepsi oral
Protektif
Antibodi TPO
6.
Mikrochimerisme fetal
Sel laki-laki di tiroid menimbulkan efek antitiroid
Hashimoto dan Graves
7.
Stress
Upregulasi sumbu HPA
Graves
8.
Alergi
Tidak diketahui, kadar IgE tinggi
Graves
9.
Rokok
Hipoksia; kadar IgE tinggi
Graves
10.
Infeksi Yersinia enterocolitia
Mimikri molekuler
Graves
Dikutip dari: Prummel et al, 2004. The Environmental and autoimmune thyroid diseases

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun; defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium juga merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroidi subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (Prummel et al, 2004).
Penyakit autoimun yang organ specific jauh lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto 5-10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya belum jelas, tapi faktor genetik termasuk faktor hormonal pasti berperan. Hormone estrogen berperan mencegah timbulnya penyakit Graves. Hal ini juga juga mendukung penelitian bahwa kontrasepsi hormonal (oral) juga dapat memberikan pengaruh pencegahan terhadap penyakit Graves. Sementara itu, fetal-microchimerism adalah transfer sel-sel fetus/janin ke peredaran darah ibunya. Sel-sel fetal tersebut dapat bertahan lama sehingga mengakibatkan hadirnya sel-sel semi-alogenik yang memicu munculnya penyakit tiroid autoimun (Prummel et al, 2004).
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves.
Suatu penelitian prospektif melaporkan ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria, depression, paranoia, dan mental fatigue) yang terkait dengan tingkat kekambuhan penyakit Graves setelah pengobatan antitiroid; kehidupan yang penuh ketegangan (stress) berkorelasi dengan titer antibodi anti-TSH (TRAb). Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (Prummel et al, 2004).
Factor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap kelenjar tiroid adalah variasi musim yang berkaitan dengan suhu. Secara fisiologis, orang-orang dengan reaksi alergi tertentu biasanya akan mudah mengalami reaksi autoimun.. Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI. Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan Iodium radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan radioterapi dan pengobatan oftalmopatia dengan kortikosteroid (Prummel et al, 2004).

 Patofisiologi Penyakit Graves
            Gen yang terlibat dalam pathogenesis penyakit Graves adalah gen yang mengatur respons imun seperti Mayor Histocompatibility Complex (MHC), reseptor sel T serta gen yang mengkode autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, tiroid peroksidase, transporter iodium dan reseptor TSH (TSHR). Respon seluler maupun respon humoral terjadi secara bersamaan pada penyakit ini. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan sel-sel lisis dan reaksi inflamasi. Gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.

 
Menurut Galofre, et al ( 2012), saat ini telah teridentifikasi lebih dari duapuluh gen penyebab timbulnya PTAI yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gen pengatur immune dan gen spesifik tiroid.
Prummel et al, 2004 (dalam Masjhur, 2010) menyebutkan enam gen yang terlibat dalam penyakit autoimun adalah : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic T-lymphocyte Antigen-4), HLA-DR, protein thyrosinphosphatase-22, tiroglobulin dan TSHR. CD40 berperan dalam aktivasi sel B, menginduksi proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Pada penyakir Graves terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar tiroid. CD40 adalah gen yang suseptibel untuk penyakit Graves, yang diekspresikan dan fungsional di tirosit. CTLA-4 merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cell (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T.
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit  T.

Faktor genetik HLA-DR yang berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun.
Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans.
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.
Pengobatan Penyakit Graves
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu :
1.      Obat anti tiroid
2.      Pembedahan
3.      Terapi Yodium Radioaktif
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
Obat Antitiroid yang digunakan adalah golongan Tionamid. Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat.  
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Pengobatan dengan yodium radioaktif  (I 131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi lokal pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.  


Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.

Penutup
            Penyakit tiroid autoimun merupakan penyakit autoimun organ spesifik dengan penyebab multifactorial. Penyakit ini terjadi pada individu yang memiliki factor genetic dan dipacu oleh factor lingkungan. Autoantigen tiroid yang penting adalah reseptor TSH, tiroid peroksidase dan tiroglobulin. Pengobatan penyakit Graves dengan obat antitiroid, pembedahan atau terapi iodium radioaktif.


 


Daftar Pustaka
Galofre, JC et al. 2012. Advances in Graves Disesase. Journal of Thyroid Research. Vol. 2012
Khalilzadeh, O, et al. 2011. Graves’ Ophthalmopathy: A review of Immunogenetics. Current Genomics, 2011, 12, 564-575
Masjhur, JS. 2010. Penyakit Tiroid Autoimun. Fakultas kedokteran Univ.Padjajaran. Bandung
Prummel, MF and WM. Wiersinga. 2005. Thyroid Peroxidase Autoantibodies in Euthyroid Subject. Clinical Endocrinology and Metabolism
Prummel, MF, T. Strieder and WM. Wiersinga. 2004. The Environment and Autoimmune Thyroid Disesases. European Journal of Endocrinology 150 : 605-618. Available at www.eje.org


           

Minggu, 12 Mei 2013

Aspek Biologi Molekuler Penyakit Aterosklerosis serta Pencegahannya Melalui Nutrisi



Aspek Biologi Molekuler Penyakit Aterosklerosis
serta Pencegahannya Melalui Nutrisi


 
oleh : Iin Tussanti,S.Si

Pendahuluan
Perkembangan teknologi telah mengarahkan manusia pada gaya hidup modern yang dicirikan dengan semakin minimnya aktifitas dan gerak tubuh serta konsumsi makanan cepat saji yang umumnya tinggi kadar gula atau lemaknya. Hal tersebut berdampak pada perubahan pola epidemiologi penyakit dari penyakit infeksi menjadi epidemi penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, kanker, dan beberapa penyakit akibat gangguan pembuluh darah. Penyakit hipertensi, stroke atau bahkan serangan jantung yang mematikan dapat disebabkan oleh gangguan pada sistim pembuluh darah yang dipicu oleh tingginya kadar lemak dalam darah yang mengarah pada terbentuknya atherosklerosis.
Aterosklerosis adalah suatu kondisi berupa penggumpalan lemak (lipid) pada dinding arteri. Gumpalam lemak tersebut lama kelamaan akan mengental, mengeras atau membentuk deposit kalsium dan akhirnya mempersempit saluran arteri sehingga mengurangi suplai oksigen maupun darah ke sel-sel dan jaringan tubuh. Kondisi ini disebut sebagai ischemia. Timbunan lemak yang mengeras di dinding arteri ini disebut plak. Bila plak menutupi saluran arteri sepenuhnya, jaringan yang disuplai oleh arteri akan mati. Bila arteri jantung (arteri koroner) yang tersumbat, akibatnya adalah serangan jantung, gagal jantung kongestif, atau irama jantung abnormal. Bila arteri otak (arteri serebral) yang tersumbat maka akibatnya adalah stroke, baik stroke ringan ataupun stroke berat.
Komplikasi aterosklerosis terjadi bila sebuah plak pecah dan bermigrasi melalui arteri ke bagian lain. Plak yang beredar ini disebut emboli, yang terdiri dari lemak tapi juga sel-sel mati, gumpalan darah dan jaringan fibrosa. Tumpukan emboli di tempat tertentu juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena menghalangi aliran darah sehingga jaringan akan mati.
Aspek Biomolekuler Aterosklerosis
Aterosklerosis dapat terjadi karena berbagai faktor yang melibatkan berbagai reaksi inflamasi kronis. Secara molekuler, aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler disebabkan karena naiknya kadar lemak dan glukosa dalam darah. Namun demikian beberapa faktor non molekuler seperti hipertensi, penuaan atau merokok dapat menjadi penyebab utama aterosklerosis. Dari beberapa penelitian menyebutkan adanya faktor-faktor lain penyebab aterosklerosis seperti sitokin inflamasi, faktor tumbuh (growth factor) dan signal apoptosis (Mannarino dan Pirro, 2008).
Mahmoudi et al (2006) menyebutkan bahwa timbunan plak pada atherosclerosis merupakan akumulasi dari vascular smooth muscle cells (VSMCs) dan sel-sel inflamasi, bersama dengan lipid dan protein matriks ekstraseluler. Disini juga terjadi kalsifikasi. Meskipun plak yang kronis tersebut merupakan akibat reaksi inflamasi, tetapi ternyata berkaitan pula dengan terjadinya kerusakan DNA pada sel-sel yang telah mengalami lesi (luka) di sekitar plak.
Menurut Mannarino dan Pirro (2008), atherosclerosis diawali dengan akumulasi sejumlah senyawa lemak lipoprotein dalam endothelium yang memacu reaksi inflamasi. Reaksi ini diawali dengan berkumpulnya leukosit dan produksi faktor tumbuh yang memacu proliferasi sel. Tingginya kadar lemak berdensitas rendah atau Low-density-lipoprotein (LDL) dan kilomikron yang kaya akan trigliserida merupakan pemicu terjadinya dislipidemia yang mengarah pada aterosclerosis. Pada kasus ini, LDL atau trigliserid dapat menembus dinding pembuluh darah yang memicu terjadinya perubahan struktur kimia LDL atau TG akibat reaksi oksidasi. Lipoprotein yang termodifikasi strukturnya tersebut akan memicu terjadi reaksi inflamasi pada dinding pembuluh darah.
Terakumulasinya lemak pada dinding pembuluh darah merupakan awal terjadinya inflamasi. Proses inilah yang mengawali terjadinya disfungsi endothelium. Kerusakan pada dinding pembuluh darah di titik tertentu akan menimbulkan berakumulasinya leukosit karena adanya suatu reaksi adhesi (gaya tarik antara sel-sel leukosit dengan sel dinding pembuluh darah). Sekali sel darah putih (leukosit) melekat maka akan diproduksi khemokine pada intima kemudian akan bermigrasi ke sub-endotelium. Monosit yang memasuki intima berdiferensiasi menjadi makrofag yang mengkespresikan reseptor, selanjutnya menginduksi terbentuknya fragmen sel apoptosis dan akhirnya mengoksidasi LDL yang masuk. Aktifasi makrofag akan berlanjut pada terbentuknya sitokin, protease dan molekul radikal sitotoksik. Limfosit T selanjutnya memasuki bagian lesi atherosclerosis. Limfosit T berdierensiasi menjadi sel T helper dan memulai produksi interferon-gamma, yang meningkatkan presentasi antigen oleh makrofag dan menstimulasi pembentukan sitoin lain seperti TNF dan IL-1. Reaksi inflamasi tersebut terus berlanjut.
Pada tahap awal proses aterosklerosis, pada dinding pembuluh darah akan terbentuk Reactive Oxygen Spesies (ROS). Beberapa penelitian menunjukkan penyebab atherosclerosis tingkat lanjut adalah sebagai akibat meningkatnya konsentrasi Reactive Oxygen Species (ROS) beberapa saat setelah terjadinya lesi dinding pembuluh darah. ROS dapat terbentuk dari reaksi metabolisme tidak sempurna akibat adanya kerusakan pada DNA mitokondria atau hasil oksidasi lipoprotein itu sendiri. Perubahan genetik pada DNA akan memicu terjadinya penuaan sel dan kematian sel pada pembuluh kapiler darah yang akan menyebabkan perubahan struktur sel-sel otot polos pembuluh darah. 
Penanggulangan Aterosklerosis
Aterosklerosis terutama berkaitan dengan diet yang terlalu banyak mengandung kolesterol. Kolesterol adalah jenis lemak yang sangat penting untuk tubuh kita. Sebagian kolesterol diproduksi oleh tubuh (terutama di hati), sedangkan sebagian lainnya didapatkan dari makanan. Jumlah kolesterol dalam darah tidak boleh melebihi 200 mg per 100 ml darah, walaupun mungkin ada sedikit perbedaan untuk nilai tersebut menurut usia, jenis kelamin dan ras. Kita tahu bahwa ada dua jenis kolesterol: HDL yang baik berperan melindungi terhadap aterosklerosis dengan menghapus LDL yang buruk dari dinding arteri. HDL bertindak seperti “pemulung” yang memunguti sampah-sampah LDL di sepanjang dinding arteri.


Untuk mengontrol jumlah kolesterol dapat dilakukan dengan tes darah. Pemeriksaan kolesterol secara rutin perlu dilakukan bila:
  • Usia di atas 55 tahun
  • Memiliki LDL dan trigliserida tinggi, HDL rendah.
  • Memiliki nodul kecil lemak pada kelopak mata atau di sepanjang tendon Achilles (xanthelasma).
  • Memiliki orang tua dan kerabat dekat yang mengidap penyakit jantung koroner atau stroke pada usia relatif muda.
  • Menderita tekanan darah tinggi, diabetes, obesitas.
Aterosklerosis dapat mulai berkembang sangat awal, ketika Anda masih muda, tetapi hampir selalu tanpa gejala. Bila timbul penyakit seperti angina atau stroke maka biasanya sudah pada stadium lanjut.
Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya:

DAFTAR PUSTAKA
Bennet, MR., 2001. Reactive Oxygen Spesies and Death: Oxidative DNA Damage in Atheroschlerosis. Circulation Research, American Heart Association Inc. available at http://crcres.ahajournals.org
Gorenne, I., M.Kavurma, S. Schott and M. Bennet. 2006. Vascular Smooth Muscle Cell Senescence in Atherosclerosis. Cardiovascular Research 72: 9-17 (www.elsevier.com)
Mahmoudi, M., J.Mercer and M. Bennet. 2006. DNA Damage and Repair in Atheroschlerosis. Oxford Journal Medicine Cardiovascular Research Vol. 71, Issue 2, pp:259-268 (http://cardiovascres.oxfordjournals.org/)
Mannarino, E, and M. Pirro. 2008. Molecular Biology of Atherosclerosis. Clinical Case in Mineral and Bone Metabolism; 5(1) : 57-62 (http:/www.ncbi.nlm.nih.gov)