Mekanisme
Autoimun Penyakit Graves
Sebagai
Salah Satu Penyebab Hipertiroidisme
Oleh:
Iin Tussanti, S.Si
Pendahuluan
Dalam
kondisi normal, sistim kekebalan tubuh manusia mempunyai kemampuan merespon
kehadiran mikroba patogen yang masuk ke dalam tubuh. Fungsi fisiologis sistem imun
adalah mencegah infeksi serta memusnahkan adanya infeksi dalam tubuh. Sistem
imun berespon terhadap protein asing yaitu antigen atau imunogen dan memiliki
toleransi terhadap antigen sel tubuh sendiri. Namun demikian dalam kondisi
tertentu, sistim imun dapat bereaksi terhadap antigen sel tubuh sendiri
sehingga menimbulkan kelainan fisiologi. Kondisi tersebut dikenal dengan
istilah autoimunitas.
Kesalahan
regulasi sistim imun dapat berakibat pada munculnya berbagai penyakit. Jenis-jenis
penyakit autoimun seperti: 1) Hashimoto tiroiditis (gangguan kelenjar tiroid), 2)
Pernicious anemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan), 3) Penyakit
Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak memproduksi cukup
hormon), 4) Diabetes tipe I, 5) Rheumatoid arthritis (radang sendi), 6) Systemic
lupus erythematosus (SLE atau gangguan autoimun kronis, yang mempengaruhi
kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya), 7) Dermatomyositis (penyakit otot yang
dicirikan dengan radang dan ruam kulit), 8) Sjorgen sindrom (kelainan autoimun
dimana kelenjar yang memproduksi air mata, 9) Multiple sclerosis (gangguan
autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat tulang belakang), 10)
Myasthenia gravis (gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf), 11)
Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran kencing dan mata), 12) Penyakit
Graves (gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif).
Fairweather,
2007 menyatakan bahwa autoimun merupakan fenomena alamiah tetapi merupakan
penyakit yang tidak umum. Di Amerika Serikat, prevalensi penderita autoimun
berkisar antara 5-8% tetapi di beberapa negara industri, penyakit tersebut
menduduki posisi ketiga dalam kategori penyakit yang paling umum dijumpai
setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Secara umum, penyebab utama
autoimunitas adalah factor genetic yang menyumbang sekitar 79% sedangkan 21%
adalah pengaruh faktor lngkungan.
Tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah untuk mengkaji salah penyakit autoimun organ spesifik pada kelenjar
tiroid yang menyebabkan efek hipertiroidisme yaitu penyakit Graves.
Penyakit Graves
Penyakit
Graves adalah penyakit autoimun (PTAI) yang spesifik menyerang sel-sel pada
kelenjar tiroid atau merupakan penyakit autoimun yang bersifat organ-spesific.
Varian lain PTAI adalah tiroiditis atrofik, tiroiditis postparfum, tiroiditis
karena obat serta tiroiditis yang menyertai sindrom autoimun poliglanduler.
Penyakit Graves merupakan kelainan kelenjar tiroid autoimun yang dicirikan
dengan adanya immunoglobulin dalam peredaran darah yang berperan sebagai anti
TSH reseptor.
Penyakit
Graves yang menyebabkan hipertiroidisme berpengaruh terhadap aktifitas
metabolism karena produksi hormone tiroid yang berlebihan.
Gejala dan Tanda Penyakit Graves
Pada penyakit
graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal
yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare
dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata
melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. (3)
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.
Perubahan
pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) : hanya ada
tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag), perubahan
jaringan lunak orbita, proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel
exphthalmometer), keterlibatan otot-otot ekstra ocular, perubahan pada kornea
(keratitis) serta kebutaan (kerusakan nervus opticus).
Penyakit
tiroid autoimun disebabkan karena interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan.
Faktor Genetik Penyebab Penyakit Graves
Adanya
pengaruh faktor genetik penyebab penyakit Graves sebagai salah satu kelainan
tiroid autoimun diketahui setelah adanya banyak kasus yang ditemui selalu
berkaitan dengan penyakit autoimun yang diderita oleh anggota keluarga yang
lain atau generasi sebelumnya. Faktor genetik penyakit ini diperkirakan disebabkan
oleh pengaruh gen ganda (poligen) dan fenotip muncul akibat regulasi yang salah
dari gen tersebut terhadap sistim imun. Antigen yang berperan pada timbulnya
penyakit tersebut adalah Human Lymphosit
Antigen (HLA) atau HLA haplotip. HLA atau MHC (Mayor Histocompatibility Complex) menimbulkan reaksi autoimun
dengan mengendalikan presentasi antigen perifer yang mengaktifkan T cell.
Penyakit
tiroid autoimun terdapat dalam bentuk penyakit Graves (hipertiroidisme) dan
penyakit Hashimoto (hipotiroidisme). Meskipun kedua penyakit tersebut memiliki
fenotip yang berbeda, secara genotip keduanya adalah kromosom yang homolog.
Selain itu autoantibodi kedua penyakit autoimun tersebut menyerang Tiroid Peroksidase dan baik penyakit
Graves maupun Hashimoto dapat terjadi pada satu keluarga. Tiroid peroksidase adalah enzim yang berperan dalam pembentukan
hormon tiroid dan merupakan autoantigen utama pada penyakit tiroid autoimun
(Prummel et al, 2004). Pada penderita tiroid autoimun seperti Graves diseases
biasanya dijumpai bahwa penderita juga akan mengalami penyakit autoimun lainnya
seperti penyakit Lupus, anemia pernisiosa atau penyakit Addison.
Faktor Lingkungan Penyebab Penyakit Graves
Beberapa faktor lingkungan telah
dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, di
antaranya : berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium,
defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan
kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria. Di samping
itu penggunaan obat-obat seperti
lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko
autoimunitas tiroid (Prummel et al, 2004).
Berat badan lahir bayi rendah
merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung
khronik; kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi
glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa
mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin
tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko
lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian
hari (Prummel et al, 2004).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi
hipo- dan hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering ditemukan di daerah cukup
iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis
lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering
ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium
berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai
latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan
hipotiroidi atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila
sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit
Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroidi (efek
Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar
tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya
akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan
faktor risiko terjadinya PTAI (Prummel et al, 2004).
Tabel 1. Faktor-faktor lingkungan
penyebab penyakit tiroid autoimun
No
|
Faktor
Lingkungan
|
Mekanisme
|
Fenotip
|
1.
|
Berat badan lahir rendah
|
Kelenjar timus tidak sempurna
|
Antibodi TPO
|
2.
|
Kelebihan iodin
|
Jod Basedow
|
Penyakit Graves
|
3.
|
Defisiensi Selenium
|
Tidak diketahui
|
Penyakit Hashimoto
|
4.
|
Jarak reproduksi yang panjang
|
Efek estradiol
|
Penyekit Hashimoto
|
5.
|
Kontrasepsi oral
|
Protektif
|
Antibodi TPO
|
6.
|
Mikrochimerisme fetal
|
Sel laki-laki di tiroid
menimbulkan efek antitiroid
|
Hashimoto dan Graves
|
7.
|
Stress
|
Upregulasi sumbu HPA
|
Graves
|
8.
|
Alergi
|
Tidak diketahui, kadar IgE tinggi
|
Graves
|
9.
|
Rokok
|
Hipoksia; kadar IgE tinggi
|
Graves
|
10.
|
Infeksi Yersinia enterocolitia
|
Mimikri molekuler
|
Graves
|
Dikutip dari: Prummel et al, 2004.
The Environmental and autoimmune thyroid diseases
Selenium merupakan trace
element yang esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga
disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem
imun; defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan
terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit
T memerlukan selenium. Di samping itu, selenium juga merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan
radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon
tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione
peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium
dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer
mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan
meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda
adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian
sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug
selenium methionine) pada penderita hipotiroidi subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas
hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (Prummel et al, 2004).
Penyakit
autoimun yang organ specific jauh lebih sering ditemukan pada wanita.
Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto 5-10 kali lebih sering ditemukan
pada wanita dibandingkan pada pria. Alasannya belum jelas, tapi faktor
genetik termasuk faktor hormonal pasti berperan. Hormone
estrogen berperan mencegah timbulnya penyakit Graves. Hal ini juga juga
mendukung penelitian bahwa kontrasepsi hormonal (oral) juga dapat memberikan
pengaruh pencegahan terhadap penyakit Graves. Sementara itu,
fetal-microchimerism adalah transfer sel-sel fetus/janin ke peredaran darah
ibunya. Sel-sel fetal tersebut dapat bertahan lama sehingga mengakibatkan
hadirnya sel-sel semi-alogenik yang memicu munculnya penyakit tiroid autoimun
(Prummel et al, 2004).
Stress
mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress
sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan
efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda
terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi
respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan
virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat.
Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu
seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit
Graves.
Suatu penelitian
prospektif melaporkan ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria,
depression, paranoia, dan mental fatigue) yang terkait dengan
tingkat kekambuhan penyakit Graves setelah pengobatan antitiroid;
kehidupan yang penuh ketegangan (stress) berkorelasi dengan titer
antibodi anti-TSH (TRAb). Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga
terkait dengan faktor stress (Prummel et al, 2004).
Factor lingkungan lainnya yang
berpengaruh terhadap kelenjar tiroid adalah variasi musim yang berkaitan dengan
suhu. Secara fisiologis, orang-orang dengan reaksi alergi tertentu biasanya
akan mudah mengalami reaksi autoimun.. Faktor infeksi
baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI.
Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor
pencetus PTAI. Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung
dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan
menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2
(IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko
kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah
pengobatan dengan Iodium radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan
radioterapi dan pengobatan oftalmopatia dengan kortikosteroid (Prummel
et al, 2004).
Patofisiologi Penyakit Graves
Gen
yang terlibat dalam pathogenesis penyakit Graves adalah gen yang mengatur
respons imun seperti Mayor
Histocompatibility Complex (MHC), reseptor sel T serta gen yang mengkode
autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, tiroid peroksidase, transporter
iodium dan reseptor TSH (TSHR). Respon seluler maupun respon humoral terjadi
secara bersamaan pada penyakit ini. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T
tersensitisasi dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel
tiroid, mengakibatkan sel-sel lisis dan reaksi inflamasi. Gangguan fungsi
terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator
atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai
autoantigen.
Menurut Galofre,
et al ( 2012), saat ini telah teridentifikasi lebih dari duapuluh gen penyebab
timbulnya PTAI yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gen pengatur immune dan gen
spesifik tiroid.
Prummel et
al, 2004 (dalam Masjhur, 2010) menyebutkan enam gen yang terlibat dalam
penyakit autoimun adalah : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic
T-lymphocyte Antigen-4), HLA-DR, protein
thyrosinphosphatase-22, tiroglobulin dan TSHR. CD40 berperan dalam aktivasi
sel B, menginduksi proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Pada penyakir Graves
terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar tiroid. CD40 adalah gen yang
suseptibel untuk penyakit Graves, yang diekspresikan dan fungsional di tirosit.
CTLA-4 merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T
dengan Antigen Presenting Cell (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan
mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada
permukaan reseptor sel T.
Pada penyakit
Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam
kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis
antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya
antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas
dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves.
Sel-sel
tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang
oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Faktor stres
juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat
ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati
Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans.
Berbagai
gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor
katekolamin didalam otot jantung.
Pengobatan Penyakit Graves
Sampai saat
ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit
Graves, yaitu :
1. Obat
anti tiroid
2. Pembedahan
3. Terapi
Yodium Radioaktif
Pilihan
pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.
Obat
Antitiroid yang digunakan adalah golongan Tionamid. Terdapat 2 kelas obat
golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan
nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang
isinya sama dengan metimazol.
Tiroidektomi
subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang besar.
Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian
OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif,
diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak
jaringan tiroid yangn harus diangkat.
Tiroidektomi
total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati Graves
yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang
ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah
menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita
masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit
Graves.
Pengobatan
dengan yodium radioaktif (I 131)
telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131
akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan
penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi lokal pada sel-sel folikel
tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons
inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu
terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang
terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan
tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat
terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu
setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi
melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam
kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini
aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun
teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu
yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif
tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada pasien
wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan
dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak
ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur
tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali
kambuh dengan OAT.
Cara
pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi
alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium
dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Penutup
Penyakit
tiroid autoimun merupakan penyakit autoimun organ spesifik dengan penyebab
multifactorial. Penyakit ini terjadi pada individu yang memiliki factor genetic
dan dipacu oleh factor lingkungan. Autoantigen tiroid yang penting adalah
reseptor TSH, tiroid peroksidase dan tiroglobulin. Pengobatan penyakit Graves
dengan obat antitiroid, pembedahan atau terapi iodium radioaktif.
Daftar Pustaka
Galofre,
JC et al. 2012. Advances in Graves
Disesase. Journal of Thyroid Research. Vol. 2012
Khalilzadeh,
O, et al. 2011. Graves’ Ophthalmopathy: A
review of Immunogenetics. Current Genomics, 2011, 12, 564-575
Masjhur,
JS. 2010. Penyakit Tiroid Autoimun.
Fakultas kedokteran Univ.Padjajaran. Bandung
Prummel,
MF and WM. Wiersinga. 2005. Thyroid Peroxidase
Autoantibodies in Euthyroid Subject. Clinical Endocrinology and Metabolism
Prummel,
MF, T. Strieder and WM. Wiersinga. 2004. The
Environment and Autoimmune Thyroid Disesases. European Journal of
Endocrinology 150 : 605-618. Available at www.eje.org